Haji dan Antropologi Spritualitas: Inovasi Murur dalam Empat Aspek Sukses Haji 2024

By Admin


Al-Hajju asyhurun ma'lúmátun, penggalan ayat 197 surat Al-Baqarah ini menjelaskan bahwa pelaksanaan haji itu tidak di semua bulan, tapi di bulan-bulan tertentu, yaitu: Syawwal, Zulkaidah, dan Zulhijjah. Tapi ada lagi pembatasan pelaksanaan haji itu, hanya pada hari-hari tertentu di bulan Zulhijjah, yaitu 8 Zulhijjah yang dikenal dengan hari Tarwiyah, 9 Zulhijjah dikenal sebagai hari Arafah, 10 Zulhijjah dikenal dengan Hari Raya Iduladha, serta 11, 12, dan 13 Zulhijjah sebagai Hari Tasyriq. Jika telah terlaksana semua rangkaian pelaksanaan ibadah haji yang disebut dengan manasik haji, maka selesailah semua rangkaian ibadah haji itu.

Karena pelaksanaannya yang begitu singkat dan terbatas, maka sangat memungkinkan untuk timbul aneka persoalan. Dari waktu haji yang hanya beberapa bulan, puncak haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Amruzna) hanya berlangsung enam hari. Sejumlah persoalan yang muncul antara lain, terkait konsep isthithaah, fleksibilitas ibadah haji, mashâlih al-ibádah, serta konsep majálul ijtihád li mashálihil ibád.

Dari empat persoalan utama di atas, penulis akan menghadirkan berbagai pendekatan dengan ragam perspektif untuk menemukan konsep dan praktik yang komprehensif guna menyajikan minimal 4 hal penting.

Pertama, akmaliyatul ibadah, [أكملية العبادة], kesempurnaan ibadah. Kesempurnaan ibadah mesti menjadi kebijakan prioritas karena ibadah haji ini hadir sekali dalam setahun. Untuk sampai kepada aspek kesempurnaan ibadah haji ini harus banyak ditempuh dan dibijaki dalam segala dimensi.

Kedua, afdhaliyatul ibadah [أفضلية العبادة]. Sekala prioritas ibadah menjadi penting agar semua pihak merasa puas dalam menjalankan semua rangkaian manasik haji. Afdhaliyah ibadah ini akan dapat tercapai dengan baik dan sempurna jika dibarengi dengan empat P, yaitu: Pengetahuan, Pengamalan, Pengalaman dan Peningkatan. Keempat hal ini akan dapat mengoptimalkan semua elemen pelaksanaan ibadah haji.

Ketiga, ahsaniyatul ibadah [أحسنية العبادة]. Pelaksanaan ibadah yang berdasarkan pada sistem yang terpola. Baik tidaknya sebuah pelaksanaan ibadah terletak pada sistem kerja yang terpola dan terstruktur. Sehingga dengan cara demikian, ibadah haji yang memerlukan multysytem akan menemukan momentumnya yang tepat dan baik dalam pengelolaan dan pengorganisasian mekanisme perhajiaan yang integratif dan inovatif.

Keempat, amaniyatul ibadah [ألأمانية فى و عند العبادة]. Keamanan dan kenyaman dalam ibadah haji dan dalam pelaksanaan ibadah haji sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti pelaksana ibadah haji [dhuyufurrahman], tim pelaksana kebijakan haji, [Kementerian Agama RI], dan regulasi haji dari Kementerian Agama dan Kerajaan Arab Saudi. Peran-peran sentral semua elemen internal menentukan kenyamanan, bahkan kemabruran haji para jamaah haji. Sedangkan peran eksternal adalah peran tentang pemahaman yang konprehensif tentang dinamika perkembangan hukum perhajian dari masa ke masa.

Nah, salah satu inovasi yang digulirkan oleh Kementerian Agama adalah konsep "Murur". Konsep ini sesungguhnya sejak lama telah menjadi perdebatan ahli-ahli Fiqh yang terkait tentang mabit di Muzdalifah.

Memang selama ini telah ada empat skema yang telah diterapkan oleh Kementerian Agama RI dari setiap musim haji, seperti skema normal, skema safari wukuf non mandiri, skema safari wukuf KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia), dan Skema Badal Haji. Ternyata dalam praktik di lapangan, keempat skema tersebut, belum kuat untuk dapat menguarai persoalan kepadatan [zahmah] jemaah, bahkan penumpukan jemaah haji di Muzhdhalifah yang sempit itu.

Maka inovasi Murur ini sesungguhnya telah menjadi konsen ulama-ulama Mazhab, taruhlah seperti Syaikh Zakaria al-Anshori, dalam Kitab Khashiyah al-Jamal ala syarh al-Minhaj. Tentang hukum Mabit [menginap] di Muzdalifah sebagai wajib haji yang kategori mabit di muzhdalifah hanya al-Muqtsu lahzhatan [berdiam diri sejenak] di Muzhalifah mulai pukul 24.00 malam hari. Bahkan yang lebih radikal lagi pendapat yang mengatakan Mabit di Muzdalifah adalah sunnah, yang boleh tidak dilaksanakan. Ini diperkuat oleh Imam al-Rafi'i.

Ini artinya ada jalan tengah hukum yang terkait dengan mabit di Muzdalifah ini dengan mengedepankan konsep murur, yang bisa dilihat dengan dua hal. Pertama, jemaah haji hanya berdiam diri di bus dengan berniat mabit sejenak di Muzhalifah sambil bus bergerak menuju Mina untuk melontar Aqabah pada 10 Zulhijjah ataukan bergerak menuju Makkah untuk Thawaf Ifadhah. Cara kedua, jemaah haji dapat turun sejenak dari bus sekedar bertemu kaki jamaah haji dengan tanah Muzdalifah sebagai salah satu indikator mabit di Muzdhalifah, baru kemudian naik bus dan bergerak menuju Mina atau Makkah. Dengan demikian dapat mengurai kepadatan dan mencegah korban jiwa dari jamaah haji.

Dengan demikian, menurut hemat saya, bahwa Murur di Muzdhalifah berimplikasi kepada beberapa aspek. Pertama, nahiyah muruunati hukmil hajji [fleksibilitas hukum dalam ibadah haji]. Murunah [fleksibility] ini berdampak pada kemudahan dan kenyamanan terhadap jemaah haji.

Kedua: nahiyah tajlibatittaysir minal masyaqqaat [تجلبة التيسير من المشقات]. Penerapan murur ini, dapat mempermudah semua elemen pelaksana, elemen penentu kebijakan dan tentu kembali kepada kemudahan jamaah haji dalam pelaksanaan mabit di Muzdhalifah ini. [المشقة تجلب التيسير]

Ketiga: nahiyah mashalih al-ummah wal ibád [ناحية مصالح الأمة والعباد]. Aspek kemashlahatan dan keselamatan nyawa jamaah haji menjadi hal wajib diprioritaskan.

Berdasarkan hal itu, menurut hemat penulis, konsep Murur dalam pelaksanaan ibadah haji menjadi sesuatu yang wajib untuk diimpelentasikan dengan pandangan kemashlahatan dan keamanan jamaah haji. Dengan sebab Murur dapat mengurai kepadatan dan keselamatan jamaah haji, berarti sangat urgen untuk diterapkan dan disosialisasikan ke semua pihak. Ini berpijak dari argumen-argumen normatif maupun argumen sosiologis, fenomenalogis pelaksanaan ibadah haji di tanah suci Makkah al-Mukarramah.

Tak kalah penting juga, bahwa murur secara rekognisi hukum haji tidak menyebabkan mengeluarkan Dam Isáah. Sehingga, tidak memberatkan jamaah haji.

Al-Hasil, berdasarkan pengamatan penulis, yang saat ini berada di Makkah – Madinah, melihat kesuksesan pelaksanaan ibadah haji musim haji 1445/2024 dari sukses perencanaan, sukses pelaksanaan, dan sukses pertanggungjawaban, patut untuk ditingkatkan di musim haji tahun-tahun berikutnya.

Secara khusus, pelaksanaan ibadah haji 1445 H ini tidak terlepas dari kepemimpinan Gus Menteri Agama sebagai Amiirul Hajj 1445 H/ 2024 M. Dengan inovasi-inovasi yang Gus Men orbitkan semata-mata untuk penguatan komitmen pelayanan prima kepada seleruh elemen jamaah haji demi kemabruran haji dan keberkahan hidup pasca pelaksanaan manasik haji.


Fahrurrozi Dahlan. QH [Direktur Pascasarjana UIN Mataram, Sekjend Forum Direktur Pascasarjana PTKIN se-Indonesia & Wakil Ketua PBNW].